TUGAS
I
ILMU
BUDAYA DASAR
“Makna
Dan Tujuan Ngaben Di Bali”
1C114801
/ 1KA01
Sistem
Informasi
Fakultas
Ilmu Komputer & Tekonologi Informasi
April
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keragaman budaya yang dimiliki Indonesia menjadikan sebuah daya tarik tersendiri yang membedakannya dengan negara lainnya. Hal ini merupakan warisan turun temurun dari para leluhur yang memiliki begitu banyak nilai-nilai di dalamnya. Keragaman budaya yang ada di Indonesia telah melahirkan pula keragaman wujud-wujud kebudayaan. Diantaranya adalah adat istiadat, upacaraupacara adat dan juga tradisi yang masih tetap di lestarikan oleh etnik-etnik di Indonesia. Bentuk-bentuk adat istiadat dan tradisi ini meliputi upacara perkawinan, upacara adat, upacara kematian, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan baik pada saat kelahiran salah seorang anggota keluarga maupun pada saat setelah meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi memang memiliki begitu banyak nilai sehingga tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia, maka dari itu, manusia tetap melaksanakan tradisi dalam hidup dan kehidupannya, hal ini juga dikarenakan peran para leluhur yang mewariskannya dari generasi ke generasi. Berawal dari ketertarikan penulis terhadap upacara kematian pada masyarakat Bali yang menjadi tradisi yang sampai sekarang tetap dilaksanakan. Tradisi upacara kematian juga dilakukan oleh etnik lainnya, namun saat mengetahui bahwa tradisi upacara kematian ini sebagai tujuan penyucian atma (roh) fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah atau biasa disebut Ngaben, maka peneliti tertarik untuk mengetahui prosesi Ngaben yang dilaksanakan masyarakat Bali di Desa Paya Tusam Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji, untuk melihat pelestarian etnik Bali di luar daerah asalnya dan etnik lain di desa tersebut. Pelestarian kebudayaan Bali dapat dilihat melalui kehidupan budaya atau ritual keagamaan yang mereka anut. Adaptasi etnik Bali ini dapat dilihat dari keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas maupun kehidupan sosial budaya pada masyarakat setempat. Adaptasi tersebut juga dapat dipahami sebagai wujud yang khas dari budaya atau ritual keagamaan etnik Bali yang mereka lestarikan di Desa Paya Tusam. Tradisi Ngaben ini tentunya memiliki arti penting bagi masyarakat Bali. Tapi apakah makna dan proses yang sama juga terjadi pada masyarakat Bali yang ada di Desa Paya Tusam. Berdasarkan hal inilah penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut, agar mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pelaksanaan upacara kematian masyarakat Bali di Desa Paya Tusam Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa itu Upacara Ngaben.
2. Mengapa orang Bali melakukan pengabenan.
BAB
II
TINJAUAN TEORI
MAKNA DAN TUJUAN NGABEN DI BALI
Ngaben merupakan salah satu upacara besar di Bali. Salah satu rangkaian upacara Pitra Yadnya ini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal. Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.
Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan
acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara
tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya
Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan menjadi tempat, waktu dan
keadaan.
Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga
yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam
Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang
ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk
mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak
saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak
terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak
ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh
menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan
sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk
sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan
pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Seperti yang tertulis tentang pitra yadnya, badan manusia
terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk
dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat
cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini
menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).
Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda,
Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma,
Wisnu, Siwa. Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja,
atma-nya tidak. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan
badan kasar.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang
mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan
dari kata ngabu (menjadi abu).
Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai
dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh
dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu
Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api
abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang
melekat pada atma/roh.
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon
kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak,
karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang
meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya, menuju surga, atau menjelma kembali ke
dunia melalui reinkarnasi, dan ini sangat tergantung dari karmaphala selama
masih hidup.
Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segera. Untuk
anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam
waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, karena upacara ini
memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, maka hal ini sering
dilakukan begitu lama setelah kematian. Jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan
kemudian, biasanya baru akan dilakukan ritual Ngaben, secara bersama-sama dalam
satu kampung.
Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini
masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang
yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi,
namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan
secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil
menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang
meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta (Pedanda),
setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil
jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga, dibantu oleh
masyarakat mempersiapkan sarcophagus atau “bade dan lembu” atau Wadah berbentuk
vihara atau padma, sebagai symbol rumah Tuhan. Bade dan Lembu yang disiapkan
biasanya sangat megah, terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka
warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga
bersangkutan. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan
dilaksanakan Ngaben.
Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan
sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya, sebagai simbol-simbol seperti
halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan
untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal
yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah
yang tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus
terbakar, atau seperti saat kasus bom Bali 1, dimana beberapa jenazah tidak
bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan
dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya,
kemudian dibakar. Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari
memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai
sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda. Ketika ada yang meninggal,
keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik
untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari
7 hari sejak hari meninggalnya.
Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), pada pagi hari
ketika upacara ini akan dilaksanakan, maka pihak keluarga dan sanak saudara
serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara ritual pertama yaitu
nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan
brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban
untuk itu atau orang yang dianggap paling tua di dalam masyarakat. Selesai
memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap, seperti layaknya
orang yang masih hidup.
Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan
roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur
penyucian roh.
Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan
memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang
diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan
ditempatkan di “Bade” tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan, secara
beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung
suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Bentuk lembu atau vihara
ini, dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan
pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya
dari jenasah.
Di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang
bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap
pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali.
Sesampainya di kuburan, biasanya dilakukan di kuburan desa
setempat, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat ke pemalungan
(“lembu”), yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang
pohon pisang, yang telah disiapkan, yang sebelumnya diawali dengan
upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu”
dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang
dianggap suci.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa
pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari
clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra
peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan
pembakaran dengann menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak
menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang
menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu
memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading
untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut, karena laut
adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur
dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan
keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati
lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang
mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya
seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.
Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali.
Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum
tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yang
akan ada jika ada keluarganya yang meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia,
berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup
sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke
dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya.
Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan
leluhurnya.
Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi
leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan
mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau
yang dicintainya, Pulau Bali.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan : Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat. Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, Ngaben itu disebut Palebon, yang berasal dari lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
B. Saran
: Upacara Ngaben pada masyarakat Bali berkaitan dengan masalah budaya
kiranya dapat memberi banyak pelajaran, khususnya mengenai budaya
Bali. Dari apa yang telah disampaikan masih banyak hal yang dapat di gali
dan di kaji lebih lanjut. Berbagai pengkajian lain diharapkan dapat
membantu memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya Bali dan
sekaligus sebagai upaya pencarian jati diri masyarakat Bali di Desa Paya
Tusam pada khususnya dan jati diri bangsa Indonesia pada umumnya.
No comments:
Post a Comment