Monday 22 June 2015

Manusia & Cinta Kasih

TUGAS IV
ILMU BUDAYA DASAR
"Manusia & Cinta Kasih”
Dosen : Auliya Ar Rahma

Oleh :
I Gusti Agung Aditya Wikan Marananda
1C114801 / 1KA01
Sistem Informasi
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
April 2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakikatnya manusia dilahrikan oleh Tuhan untuk memiliki perasaan, terutama perasaan cinta. Kebanyakan orang menlihat masalah cinta ini pertama-tama sebagai masalah dicintai, lebih daripada itu masalah yang dicintai yaitu masalah kemampuan orang untuk mencinta, maaka masalahnya bagi mereka ialah bagaimana supaya dicinatai. Setiap orang membutuhkan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai.

Cinta bukanlah terutama hubungan dengan seseorang tertentu. Cinta adalah sikakp, sesuatu orientasi watak yang menentukkan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan, bukan menuju sesuatu objek cinta. Jika seseorang pribadi hanya mencintai satu pribadi lain dan acuh tak acuh terhadap sesamanya yang lain, cintanya bukanlah cinta, tetpai ikatan simbolik atau egoisme yang diperluas.

1.2 Rumusan Masalah

·       Apakah pengertian dari cinta?
·       Apa yang dimaksud dengan Kasih sayang?
·       Apa pengertian dari kemesraan?
·       Bagaimana hubungannya dengan pemujaan?
·       Bagaimana cara penyampaian seseorang dengan belas kasihan?
·       Apa pengertian cinta kasih erotis?
1.3 Tujuan Masalah

Tujuan dari karya ilmiah ini adalah bagaimana mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang cinta kasih, serta kaitannya dengan manusia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Cinta Kasih



Menurut kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau (rasa) saying (kepada), ataupun (rasa) sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih artinya perasaan saying atau cinta kepada atau menaruh belas kasihan. Dengan demikian arti cinta dan kasih hampir bersamaan, sehinga kata kasih memperkuat rasa cinta. Karena itu cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasih.

Dr. Sarwito W. Sarwono mengemukakan bahwa cinta memiliki 3 unsur, yaitu ketertarikan, keintiman, dan kemesraan. Ketertarikan adalah perasaan untuk hanya bersama dia, segala prioritas hanya untuk dia. Keintiman adalah adanya kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku untuk menunjukkan bahwa seseorang itu dengan seseorang lainnya sudah tidak ada jarak lagi. Sedangkan kemesraan adalah adanya rasa ingin mengenal lebih dekat dengan seseorang yang dekat dengan kita. Biasanya kemesraan ditunjukkan dengan perilaku saling bersentuhan maupun dengan ucapan atau kata-kata yang lebih mendalam.

2.2 Kasih Sayang

Menurut kamus umum bahasa indonesia W.J.S Purwodarmito kasih sayang diartikan dengan perasaan sayang atau cinta kepada seseorang. Kasih sayang ini merupakan pertumbuhan dari cinta. Kasih sayang ada dua bentuk yaitu, kasih mengasihi atau saling menumpahkan kasih sayang, Kasih sayang juga dasar komunikasi dari keluarga.

Kata kasih dan sayang itu mengandung pengertian yang sangat luas. Dan yang pasti setiap insan manusia perlu tahu dan mengerti apa makna kasih sayang yang sebenarnya. Yang dimaksud dengan kasih dan sayang di sini bukan sekadar hubungan cinta atau asmara antara seorang laki-laki dan perempuan saja. Namun lebih bersifat universal. Sehingga hal ini bisa terjadi terhadap sahabat, saudara, keluarga dan lain-lain. Dan yang perlu ditekankan adalah, bahwa kasih dan sayang yang tulus itu selalu punya sifat yang ikhlas dan lebih banyak memberi daripada menerima. Kepentingan diri sendiri sering dinomor duakan demi memberi kebahagiaan pada orang yang dikasih dan disayanginya.

2.3 Kemesraan

Kemesraan berasal dari kata mesra yang berarti erat atau karib sehingga kemesraan berarti hal yang menggambarkan keadaan sangat erat atau karib. Kemesraan juga bersumber dari cinta kasih dan merupakan realisasi nyata. Kemesraan dapat diartikan sama dengan kekerabatan, keakraban yang dilandasi rasa cinta dan kasih.

2.4 Pemujaan

Kalau manusia cinta kepada Tuhan karena Tuhan sungguh maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kecintaan manusia itu dimanivestasikan dalam bentuk pemujaan atau sembahyang. Dalam kehidupan manusia terdapat berbagai cara pemujaan sesuai dengan agama,kepercayaan,kondisi dan situasi. Sembahyang dirumah, dimasjid, digereja,dipura,dicandi, bahkan ditempat yang dianggap keramat merupakan perwujudan dari pemujaan kepada Tuhan. Oleh karena itu, pemujaan ini sebenarnya karena manusia ingin berkomunikasi dengan Tuhannya. Hal itu berarti manusia mohon ampun atas segala dosanya,mohon perlindungan,mohon dilimpahkan kebijaksanaan,dsb.

Pemujaan dapat menimbulkan daya kreatifitas pecintanya dengan cara mencipta. Banyak kita temui Arca-arca yang menggambarkan dewa-dewa yang dipuja dalam kesenian pahat.

2.5 Belas Kasihan

Belas kasihan adalah emosi manusia yang muncul akibat melihat penderitaan orang lain. Rasa belas kasihan membuat orang-orang merasa iba sehingga ingin menolong atau memberikan sesuatu yang bisa membahagiakan atau meringankan beban orang-orang yang mengalami kesulitan atau musibah.

2.6 Cinta Kasih Erotis

Dalam cinta kasih persaudaraan merupakan cinta kasih antar orang yang sama dan sebanding. Sedangkan cinta kasih ibu merupakan cinta kasih terhadapa orang lemah yang tanpa daya. Walaupun terdapat perbedaan besar antara keduanya tetapi mempunyai kesamaan bahwa pada hakekatnya cinta kasih tidak terbatas hanya seorang saja. Berlawanan dengan 2jenis cinta kasih diatas adalah cinta kasih erotis yaitu kehausan akan penyatuan yang sempurna, akan penyatuan dengan seseorang lainnya.

BAB III
PENUTUP
3. Kesimpulan

Pada hakikatnya manusia dilahrikan oleh Tuhan memiliki perasaan, terutama perasaan cinta. Kebanyakan orang menlihat masalah cinta ini pertama-tama sebagai masalah dicintai, lebih daripada itu masalah yang dicintai yaitu masalah kemampuan orang untuk mencinta, maaka masalahnya bagi mereka ialah bagaimana supaya dicinatai. Setiap orang membutuhkan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai. Selain itu dalam perasaan manusia terdapat juga rasa kasih sayang, pemujaan, belas kasihan, dan cinta kasih erotis.


Manusia & Pandangan Hidup

TUGAS III
ILMU BUDAYA DASAR
"Manusia & Pandangan Hidup”
Dosen : Auliya Ar Rahma
Oleh :
I Gusti Agung Aditya Wikan Marananda
1C114801 / 1KA01
Sistem Informasi
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
April 2015

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Setiap manusia memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda. Pengelompokkan pandangan hidup yang berbeda-beda akan menciptakan paham atau aliran. Aliran–aliran tersebut, misalnya individualisme, sosialisme, kapitalisme, dan lain-lain. Pandangan hidup tidak terlepas dari masalah nilai dalam kehidupan manusia. Pandangan hidup merupakan wujud pertama kebudayaan yang tidak terlepas dari nilai budaya.

 

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menuntaskan tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar yang menjadi salah satu syarat kelulusan dalam proses pembelajaran di jenjang S1 Teknik Mesin Universitas Gunadarma. Selain itu, diharapkan makalah ini menjadi tulisan yang bermanfaat dan menjadi referensi bagi semua orang yang membacanya.


BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pandangan Hidup


Yang dimaksud dengan pandangan hidup adalah bagaimana manusia memandang kehidupan atau bagaimana manusia memiliki konsepsi tentang kehidupan. Akibat dari pandangan hidup yang berbeda-beda, maka timbullah secara umum pandangan hidup yang dapat dikelompok-kelompokkan disebut aliran atau paham. Misalnya, manusia yang mengutamakan diri sendiri yang menimbulkan paham individualisme dan manusia yang mengutamakan kepentingan umum  atau masyarakat yang menimbulkan paham sosialisme.

Berdasarkan nilai hidupnya, Eduard Spranger membagi manusia atas enam tipe, yaitu menusia ekonomi, politik, sosial, pengetahuan, seni, dan agama. Berdasarkan klasifikasi tersebut yang dimaksud dengan manusia ekonomi adalah orang yang suka bekerja, suka mengumpulkan harta, bersifat agak kikir, dan perhitungan. Sehingga, dari sifat-sifat manusia seperti itu akan lahir manusia yang disebut homo economicus yang mendasarkan kehidupannya terutama atas kepentingan ekonomi. Dalam abad XX ini, terdapat dua aliran besar dalam pemikiran atau pandangan ekonomi, yaitu kapitalisme dan sosialisme.

Dalam aliran kapitalisme, seorang individu akan berusaha sendiri mempergunakan modal uang dimilikinya untuk mengembangkan dirinya. Paham kapitalisme, umumnya berkembang di negara-negara Barat yang memiliki nilai hidup. Sedangkan, paham sosialisme umumnya berkembang di negara-negara Timur (negara berkembang). Oleh karena itu, negara yang diserahi rakyatnya mengurus kepentingannya, harus mengutamakan kepentingan umum agar kemiskinan dapat dihilangkan sehingga masyarakat menjadi sejahtera.

Pandangan hidup juga tidak terlepas dari masalah nilai dalam kehidupan manusia pada umumnya. Oleh karena itu, pandangan hidup yang sempurna yang merupakan wujud pertama kebudayaan tidak boleh terlepas dari nilai budaya. C. Kluckhohn dalam karyanya Variations in Value Orientation mengemukakan tentang adanya lima masalah dasar manusia, yaitu manusia dan hidup, manusia dan karya, manusia dan waktu, manusia dan alam, manusia dan sesama manusia.

Dalam masalah manusia dengan waktu, wujud pandangan manusia yang berkaitan dengan waktu adalah cita-cita. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, cita-cita adalah keinginan, harapan, dan tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Baik keinginan, harapan, maupun tujuan tersebut merupakan orientasi yang ingin diperoleh pada masa mendatang. Dengan demikian cita-cita mempunyai pandangan masa depan dan merupakan pandangan hidup yang akan datang. Sehingga, cita-cita merupakan semacam garis linier yang makin lama makin tinggi, dengan kata lain cita-cita merupakan keinginan, harapan, dan tujuan manusia yang makin tinggi tingkatannya. Dapat atau tidaknya seseorang mencapai apa yang dicita-citakannya, hal itu tergantung atas tiga faktor, yaitu manusia, kondisi yang dihadapi selama mencapai apa yang dita-citakannya, dan seberapa tinggikah cita-cita yang hendak dicapai.

Suatu cita-cita tidak hanya dimiliki oleh individu saja, masyarakat dan bangsa memiliki cita-cita juga. Cita-cita suatu bangsa merupakan keinginan atau tujuan suatu bangsa. Misalnya, bangsa Indonesia mendirikan suatu negara yang merupakan sarana utuk menjadi suatu bangsa yang masyarakatnya memiliki keadilan dan kemakmuran. Sedangkan, bangsa Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler pernah bercita-cita agar bangsa Jerman dapat menjadi penguasa dunia.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan seperti hal-hal berikut ini. Baik individu, masyarakat, maupun negara, berhasilnya suatu cita-cita, dapat menimbulkan rasa puas, sebaliknya gagalnya suatu cita-cita, dapat menimbulkan frustasi. Pada umumnya cita-cita merupakan hal yang positif, tetapi apabila seseorang dalam usaha mencapai cita-citanya dilakukan dengan nafsu maka cita-citanya yang positif ini yang memiliki sifat ideal yang baik, dapat berkurang mutunya. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa nafsu cenderung membawa manusia pada cara-cara yang negatif, mengubah yang tadinya positif menjadi negatif.





BAB III
PENUTUP

3. Kesimpulan


Pandangan hidup merupakan bagaimana manusia memandang kehidupan. Setiap orang memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda dan melahirkan suatu paham. Wujud pandangan hidup manusia berkaitan dengan cita-cita, kebajikan, dan etika. Cita-cita merupakan pandangan hidup di masa yang akan datang. Kebajikan manusia secara nyata dan dapat dirasakan melalui tingkah lakunya. Dan, dalam hal ini, tingkah laku manusia sebagai perwujudan kebajikan inilah yang akan dikemukakan karena wujudnya dapat dilihat dan dirasakan. Karena tingkah laku bersumber pada pandangan hidup, maka setiap orang memiliki tingkah laku sendiri-sendiri yang berbeda dari orang lain dan tergantung dari pembawaan, lingkungan, dan pengalaman. Dalam setiap perbuatan, manusia harus memahami etika yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga kehidupan dalam mermasyarakat menjadi tenang dan tenteram.

Monday 6 April 2015

Asal Mula Danau Batur

TUGAS II
ILMU BUDAYA DASAR
“Asal Mula Danau Batur”
Dosen : Auliya Ar Rahma
Oleh : I Gusti Agung Aditya Wikan M
1C114801 / 1KA01
Sistem Informasi
Fakultas Ilmu Komputer & Tekonologi Informasi
April 2015

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia tumbuh berbagai cerita rakyat daerah dengan corak dan budaya yang berbeda beda. Cerita rakyat itu ada yang berupa cerita binatang (fabel), asal usul suatu tempat (legenda), dan cerita tentang makhluk halus (mite).
Cerita rakyat adalah cerita yang berkembang di suatu daerah dan dianggap sebagai karya kolektif (milik bersama) masyarakat daerah itu. Pasti kita perna mendengar cerita Malin Kundang, Si Pahit Lidah, Roro Jonggrang, Jaka Tarub, semua cerita itu termasuk dalam cerita rakyat.
Banyak manfaat yang kita akan dapatkan dengan mendengarkan cerita rakyat. Salah satunya, kita akan memperoleh pengalaman berharga dari cerita tersebut, melalui peristiwa-peristiwayang dialami tokoh-tokohnya. Di dalam cerita rakyat terkandung pesan moral yang berguna bagi pembacanya. Pesan (amanat)dalam cerita kadang diungkapkan secara langsung, tetapi kadang diungkapkan secara tidak langsung melalui tingkah laku tokoh-tokohnya.

1.2 Tujuan

1. Menjelaskan apa itu karya sastra cerita rakyat.
2. Memahami sejarah cerita rakyat Kebo Iwa.

BAB II

TINJAUAN TEORI

ASAL MULA DANAU BATUR


Kebo Iwa adalah seorang raksasa yang bertubuh besar.
Tubuhnya gendut dan doyan makan. Makin hari tubuhnya
bertambah besar. Makanannya banyak sekali. Ia suka membantu
penduduk desa membuat rumah, mengangkat batu besar dan
membuat sumur. Ia tidak minta imbalan apa-apa, hanya saja
penduduk desa harus menyediakan makanan yang cukup
untuknya.
Jika sampai dua hari Kebo Iwa tidak makan maka ia akan marah.
Jika marah ia akan mengamuk dan merusak apa saja yang ada di
depannya. Tak peduli rumah atau pura akan dirusaknya. Kebun
dan sawah juga dirusaknya.
Karena tubuhnya sangat besar, makannya pun sangat banyak.
Porsi makan Kebo Iwa sama seperti menyiapkan makanan
seratus orang. Walau penduduk desa sudah tidak membutuhkan
tenaganya, mereka harus tetap menyediakan makanan untuk
Kebo Iwa. Karena jika Kebo Iwa lapar ia akan marah dan
menghancurkan apa saja.
Hingga tibalah musim kemarau. Semua lumbung padi milik
penduduk mulai kosong. Beras dan bahan makanan lain mulai
sulit diperoleh. Setelah sekian lama, hujan tidak kunjung dating.
Penduduk mulai khawatir keadaan Kebo Iwa. Sebab, jika ia lapar
pasti akan mengamuk.
Benar saja kekhawatiran penduduk. Suatu hari Kebo Iwa merasa
lapar, tapi makanan belum siap karena persediaan penduduk desa
sudah habis. Jangankan untuk Kebo Iwa, untuk mereka makan
sendiri saja sudah tidak ada.
Kebo Iwa pun marah dan mengamuk. Ia menghancurkan
rumah-rumah milik penduduk. Pura sebagai tempat ibadah juga
tidak luput dari amukan Kebo Iwa.
Penduduk melarikan diri ke desa tetangga. Tapi Kebo Iwa terus
mengejar sambil berteriak-teriak, “Mana makanan untukku! Atau
kalian lebih suka kuhancurkan!”
Kebo Iwa semakin ganas. Ia tidak hanya menghancurkan
bangunan, tetapi juga memakan hewan-hewan ternak milik
penduduk. Para penduduk pun juga menjadi korban keganasan
Kebo Iwa.
Melihat kerusakan yang ditimbulkan Kebo Iwa maka penduduk
menjadi kesal dan marah. Mereka mengatur siasat untuk
membunuh Kebo Iwa. Mereka mengajak berdamai Kebo Iwa.
Dengan segala macam cara akhirnya mereka bisa
mengumpulkan makanan yang banyak lalu mendekati Kebo Iwa.
Pada saat itu Kebo Iwa baru saja menyantap seekor kerbau. Ia
kekenyangan dan berbaring di atas rumput.
“Hai Kebo Iwa …!” tegur Kepala Desa.
“Ada apa? Mau apa kalian mendekatiku?” tanya Kebo Iwa dengan
curiga.
“Sebenarnya kami masih membutuhkan tenagamu. Rumah-
rumah dan pura banyak yang kau hancurkan. Bagaimana kalau
kau membantu kami membangunnya kembali. Kami akan
menyediakan makanan yang banyak untukmu sehingga kau tak
kelaparan lagi,” kata Kepala Desa.
“Makanan …? Kalian akan menyediakan makanan yang enak
untukku?” mata Kebo Iwa berbinar mendengar kata makanan.
“Aku setuju … aku akan buatkan untuk kalian!”
Kebo Iwa senang, tidak curiga sedikit pun. Keesokan harinya,
Kebo Iwa mulai bekerja. Dengan waktu yang terhitung singkat,
beberapa rumah selesai dikerjakan oleh Kebo Iwa. Sementar itu,
para warga sibuk mengumpulkan batu kapur dalam jumlah bear.
Kebo Iwa merasa bingung mengapa para warga sangat banyak
mengumpulkan batu kapur. Padahal kebutuhan batu kapur untuk
rumah dan pura sudah cukup.
“Mengapa kalian mengumpulkan batu kapur begitu banyak?”
tanya Kebo Iwa.
“Ketahuilah Kebo Iwa. Setelah kamu selesai membuat rumah dan
pura milik kami, kami akan membuatkanmu rumah yang besar
dan sangat indah,” kata Kepala Desa.
Kebo Iwa sangat senang mendengarnya. Tidak ada kecurigaan
sedikit pun darinya. Ia semakin semangat membantu warga.
Hanya dalam beberapa hari, rumah-rumah dan pura milik
penduduk selesai dikerjakan. Pekerjaannya hanya tinggal
menggali sumur besar. Pekerjaan ini memakan waktu cukup
lama dan memerlukan lebih banyak tenaga. Kebo Iwa
menggunakan kedua tangannya yang besar dan kuat untuk
menggali tanah sampai dalam. Semakin hari lubang yang
dibuatnya semakin dalam. Tubuh Kebo Iwa pun semakin turun
ke bawah. Tumpukan tanah bekas galian yang berada di mulut
lubang pun semakin menggunung. Karena kelelahan, Kebo Iwa
berhenti untuk istirahat dan makan. Ia makan sangat banyak.
Karena kelelahan setelah makan ia mengantuk, ia pun tertidur
dengan mengeluarkan suara dengkuran yang sangat keras.
Suara dengkuran Kebo Iwa terdengar oleh para penduduk yang
sedang berada di atas sumur. Akhirnya, para penduduk segera
berkumpul di tempat lubang sumur tersebut. Mereka melihat
Kebo Iwa sedang tertidur pulas di dalamnya. Pada saat itulah
Kepala Desa memimpin warganya untuk melemparkan batu
kapur yang sudah mereka siapkan sebelumnya ke dalam sumur.
Karena tertidur lelap, Kebo Iwa belum tidak menyadari dirinya
dalam bahaya.
Ketika air di dalam sumur yang bercampur kapus sudah mulai
meluap dan menyumbat hidung Kebo Iwa, barulah raksasa itu
tersadar. Namun, lemparan batu kapur dari para warga semakin
banyak. Kebo Iwa tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun
memiliki badan sangat besar dan tenaga yang sangat kuat, ia
tidak mampu melarikan diri dari tumpukan kapur dan air sumur
yang kemudian menguburnya hidup-hidup. Kebo Iwa
menggelepar-gelepar selama beberapa saat, gerakannya
menimbulkan gempa sesaat tapi kemudian reda dan diam.
Kiranya Kebo Iwa telah tewas terkubur di dalam sumur.
Sementara itu air sumur semakin lama semakin meluap. Air
sumur itu membanjiri desa dan membentuk danau. Danau itu
kini dikenal dengan nama Danau Batur. Sedangkan timbunan
tanah yang cukup tinggi membentuk bukit menjadi sebuah
gunung dan disebut Gunung Batur.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan : Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun cerita dari dalam. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra atau cerita namun turut menentukan bentuk dan isi suatu karya/cerita.

B. Saran : Jangan bosan untuk membaca atau mendengarkan cerita rakyat, karena kita bisa mendapat banyak manfaat dari cerita tersebut.


Makna Dan Tujuan Ngaben Di Bali

TUGAS I
ILMU BUDAYA DASAR
“Makna Dan Tujuan Ngaben Di Bali”
Dosen : Auliya Ar Rahma
Oleh : I Gusti Agung Aditya Wikan M
1C114801 / 1KA01
Sistem Informasi
Fakultas Ilmu Komputer & Tekonologi Informasi
April 2015

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keragaman budaya yang dimiliki Indonesia menjadikan sebuah daya tarik tersendiri yang membedakannya dengan negara lainnya. Hal ini merupakan warisan turun temurun dari para leluhur yang memiliki begitu banyak nilai-nilai di dalamnya. Keragaman budaya yang ada di Indonesia telah melahirkan pula keragaman wujud-wujud kebudayaan. Diantaranya adalah adat istiadat, upacaraupacara adat dan juga tradisi yang masih tetap di lestarikan oleh etnik-etnik di Indonesia. Bentuk-bentuk adat istiadat dan tradisi ini meliputi upacara perkawinan, upacara adat, upacara kematian, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan baik pada saat kelahiran salah seorang anggota keluarga maupun pada saat setelah meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi memang memiliki begitu banyak nilai sehingga tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia, maka dari itu, manusia tetap melaksanakan tradisi dalam hidup dan kehidupannya, hal ini juga dikarenakan peran para leluhur yang mewariskannya dari generasi ke generasi. Berawal dari ketertarikan penulis terhadap upacara kematian pada masyarakat Bali yang menjadi tradisi yang sampai sekarang tetap dilaksanakan. Tradisi upacara kematian juga dilakukan oleh etnik lainnya, namun saat mengetahui bahwa tradisi upacara kematian ini sebagai tujuan penyucian atma (roh) fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah atau biasa disebut Ngaben, maka peneliti tertarik untuk mengetahui prosesi Ngaben yang dilaksanakan masyarakat Bali di Desa Paya Tusam Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji, untuk melihat pelestarian etnik Bali di luar daerah asalnya dan etnik lain di desa tersebut. Pelestarian kebudayaan Bali dapat dilihat melalui kehidupan budaya atau ritual keagamaan yang mereka anut. Adaptasi etnik Bali ini dapat dilihat dari keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas maupun kehidupan sosial budaya pada masyarakat setempat. Adaptasi tersebut juga dapat dipahami sebagai wujud yang khas dari budaya atau ritual keagamaan etnik Bali yang mereka lestarikan di Desa Paya Tusam. Tradisi Ngaben ini tentunya memiliki arti penting bagi masyarakat Bali. Tapi apakah makna dan proses yang sama juga terjadi pada masyarakat Bali yang ada di Desa Paya Tusam. Berdasarkan hal inilah penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut, agar mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pelaksanaan upacara kematian masyarakat Bali di Desa Paya Tusam Kecamatan Wampu Kabupaten Langkat.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui apa itu Upacara Ngaben.
2. Mengapa orang Bali melakukan pengabenan.

BAB II

TINJAUAN TEORI

MAKNA DAN TUJUAN NGABEN DI BALI

Ngaben merupakan salah satu upacara besar di Bali. Salah satu rangkaian upacara Pitra Yadnya ini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal. Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.
Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan menjadi tempat, waktu dan keadaan.
Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Seperti yang tertulis tentang pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).
Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa. Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu).
Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atma/roh.
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya, menuju surga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi, dan ini sangat tergantung dari karmaphala selama masih hidup.
Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segera. Untuk anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, maka hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan kemudian, biasanya baru akan dilakukan ritual Ngaben, secara bersama-sama dalam satu kampung.
Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta (Pedanda), setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga, dibantu oleh masyarakat mempersiapkan sarcophagus atau “bade dan lembu” atau Wadah berbentuk vihara atau padma, sebagai symbol rumah Tuhan. Bade dan Lembu yang disiapkan biasanya sangat megah, terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.
Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya, sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah yang tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat kasus bom Bali 1, dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya, kemudian dibakar. Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda. Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.
Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), pada pagi hari ketika upacara ini akan dilaksanakan, maka pihak keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu atau orang yang dianggap paling tua di dalam masyarakat. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap, seperti layaknya orang yang masih hidup.
Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh.
Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan, secara beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Bentuk lembu atau vihara ini, dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari jenasah.
Di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali.
Sesampainya di kuburan, biasanya dilakukan di kuburan desa setempat, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat ke pemalungan (“lembu”), yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang pohon pisang, yang telah disiapkan, yang sebelumnya diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengann menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.
Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya yang meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia, berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.
Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan : Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat. Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, Ngaben itu disebut Palebon, yang berasal dari lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.


B.  Saran : Upacara Ngaben pada masyarakat Bali berkaitan dengan masalah budaya kiranya dapat memberi banyak pelajaran, khususnya mengenai budaya Bali. Dari apa yang telah disampaikan masih banyak hal yang dapat di gali dan di kaji lebih lanjut. Berbagai pengkajian lain diharapkan dapat membantu memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya Bali dan sekaligus sebagai upaya pencarian jati diri masyarakat Bali di Desa Paya Tusam pada khususnya dan jati diri bangsa Indonesia pada umumnya.